Cristiano Ronaldo Muda Adalah Lebah Kecil Yang Selalu Menangis
Berita Bola Cristiano Ronaldo dos Santos Aveiro, Dinis, Funchal, Madeira, Portugal, Ronald Reagan, Santo Antonioclubbola88.org – CR7 Lebah Kecil Yang Selalu Menangis, Sekali lagi mendapatkan trofi kemenangan Goal 50 sekali lagi, Goal mengunjungi tempat kelahirannya di Funchal untuk melacak perjalanannya jadi pemain terbaik dunia.
Namun keadaan tak selalu bahagia seperti ini. Ronaldo merupakan anak yang tak direncanakan, yang paling kecil dalam keluarga sederhana di Pulau Madeira, Portugal. Dia lahir pada 5 Februari 1985 di Santo Antonio, di lingkungan pegunungan dan salah satu komunitas paling miskin di ibu kota Funchal.
Anak dari ibu bernama Dolores, yang bekerja sebagai tukang masak, dan istri dari Dinis, seorang tukang kebun kota, keluarganya lantas memutuskan menamai sang anak Cristiano Ronaldo dos Santos Aveiro – nama Ronaldo dipilih karena terinspirasi mantan presiden Amerika Serikat, Ronald Reagan.
Sepakbola sudah jadi bagian dalam hidup Ronaldo muda. Ayahnya yang seorang peminum, harus berpulang pada 2005 akibat penyakit hati. Sang ayah yang juga bekerja sebagai kitman di klub lokal, Andonrinha, sempat meminta Fernao Barros Sousa, eks pemain klub terbesar Pulau Madeira, Nacional, untuk menjadi ayah baptis Ronaldo.
“Saya menjadi ayah baptis Ronaldo karena bermain di Andorinha, di mana saya bertemu ayahnya, Dinis. Ketika Ronaldo lahir, dia meminta apakah saya bersedia menjadi ayah baptisnya,” kisah Barros Sousa pada Goal di Madeira.
“Kala itu Andorinha bermain di Ribera Brava, jadi saya pergi ke sana, begitu pula Dinis. Kami pun datang terlambat di hari baptis Ronaldo, sampai-sampai sang pendeta tak ingin membaptisnya! Kami kemudian harus meyakinkan sang pendeta untuk membaptisnya dan itulah yang terjadi. Lucu memang, karena acaranya sudah dimulai, tapi kami tak ada di sana. Itu sungguh tak bagus!”
Waktu berjalan, Ronaldo pun menemani ayahnya bekerja hingga akhirnya masuk ke tim muda Andorinha ketika usianya cukup.
“Ketika masih kecil, Ronaldo tampak seperti anak kecil lainnya,” ungkap Barros. “Namun dia memiliki sesuatu yang berbeda dari bocah lainnya dan itu karena dia begitu sering bermain sepakbola. Bahkan di usianya masih sangat muda. Saat anak-anak lain tekun belajar akademis, dia lebih mengutamakan bermain sepakbola.
“Anda bisa melihat itu ketika ayahnya masih jadi kitman di Andorinha. Sang ayah memiliki tas yang berisi banyak bola dan Ronaldo pasti bersama ayahnya, dengan memainkan bola entah dengan tangan atau kakinya. Dia mencoba untuk menggocek bola tentunya, dengan meniru pemain lain. Dia terus melakukan itu!”
Ronaldo akhirnya bermain untuk Andorinha, klub pertamanya, di usia sekitar delapan tahun, dan kemudian bakatnya pun tampak semakin jelas.
“Kami berusia delapan atau sembilan tahun,” ujar mantan rekan setim Ronaldo, Ricardo Santos, yang kini jadi pelatih Andorinha pada Goal. “Pada saat itu Ronaldo sudah jadi pemain yang hebat.
“Yang saya ingat soalnya adalah dia merupakan anak yang rendah hati. Kemudian ketika dia tak mendapat bola, dia akan menangis. Ketika rekan setimnya berkelahi, dia menangis. Namun dia tetap saja pemain yang hebat. Dia lebih cepat dari pemain kebanyakan, dia mencetak begitu banyak gol dan punya gocekan luar biasa.
“Ronaldo selalu mengingin
kan kemenangan,” tambah Santos. “Saat hal itu tak terjadi, Ronaldo akan menangis. Selalu seperti itu hingga dia dipanggil ‘Si Bayi Cengeng’.”
Perawat rumput lapangan, Rui, yang juga bekerja di Andorinha saat itu, amat mengingat sosok Ronaldo dan berbicara dengan bangga soal pemenang Ballon d’Or tiga kali tersebut.
“Ketika datang ke klub ini, Ronaldo berusia tujuh atau delapan tahun. Dia datang bersama ayahnya,” tuturnya. “Tidak mudah merebut bola darinya. Dia sangat kecil memang, tapi dia selalu bermain sepakbola. Tak pernah berhenti. Dia juga bermain begitu sering di rumah.”
Andorinha kala itu memainkan tujuh laga dan Santos berkisah soal yang ditarik keluar Ronaldo usai babak pertama di salah satu partai, akibat cedera.
“Saya tak ingat persis, tapi Ronaldo hampir selalu mencetak gol untuk kami,” kisah Santos. “Saya teringat salah satu partai, di mana kami bermain di Camara de Lobos. Kami unggul terlebih dahulu 3-0, kemudian Ronaldo harus keluar karena cedera dan kami pun mengakhiri laga dengan kekalahan 4-3.”
Santos menambahkan: “Ronaldo seperti ‘Abelhinha’ (lebah kecil) karena dia bertubuh kecil tapi sangat cepat, jadilah kami menjulukinya ‘Albenhinha’.”
Sengatan “Si Lebah Kecil” terus bergemuruh di lumpur pegunungan Medeira dan tak lama kemudian dia mendapatkan perhatian dari banyak klub – termasuk klub terbesar di pulau tersebut, Nacional.
“Ronaldo tiba di Nacional ketika ketika saya bertugas di bagian pemain junior,” kata Barros. “Saya meninggalkan Andorinha dan suatu hari pelatih Nacional datang kemudian meminta saya untuk menonton pertandingan Andorinha, karena ada seorang pemain dengan talenta yang luar biasa.
“Jadi, saya enggan membuang waktu: saya pergi untuk menonton laga Andorinha dan saya langsung tersadar bahwa bocah yang dimaksud adalah Ronaldo! Saya kemudian tertarik untuk membawanya ke Nacional, jadi saya berbicara dahulu dengan ibunya, Dolores. Untungnya dia mendukung dan Ronaldo pun datang ke Nacional.”
Saat itulah si ayah baptis Ronaldo kemudian melanjutkan perannya, dengan jadi sosok vital perjalanan karier calon pemain terbaik dunia ini.
“Di Madeira, bakat luar biasa Ronaldo sudah sangat dikenal,” ujar mantan pelatih tim junior Nacional, Pedro Talinhas, pada Goal. “Para pencari bakat dan orang-orang yang bekerja di klub ini memandangnya sebagai bakat sepakbola terbaik di Madeira. Dia memang masih sangat muda saat itu, tapi mereka bisa melihat dirinya punya sesuatu yang spesial.
“Ronaldo datang ke Nacional ketika usianya sepuluh tahun. Dia adalah pemain dengan teknik yang tinggi, kedua kakinya juga sangat lincah. Dia memang bertubuh kecil, tapi sangat teknikal. Kebanyakan hal yang Anda lihat darinya sekarang, gelontoran gol-nya, objektivitasnya dalam menciptakan gol, kami sudah melihat tanda-tanda itu sebelumnya.
“Ronaldo sangat cepat, punya tembakan yang begitu baik, dan fisiknya sangat kuat.”
Di Nacional Ronaldo bermain untuk tim usia tujuh tahun dan kemudian meloncat ke sembilan tahun. Dia terbiasa berkompetisi melawan rekan setim yang lebih tua karena bakatnya yang impresif.
“Tahun kedua Ronaldo di Nacional, sayalah pelatihnya,” ujar Talinhas. “Dia jadi kapten tim saya, padahal dirinya adalah junior di tahun sebelumnya. Begitu sering dia melawan bocah yang usianya tiga tahun lebih tua darinya – dan bahkan melawan yang jauh lebih tua lagi.
“Anda bisa melihat bahwa Ronaldo kecil merupakan pemain yang punya kemampuan luar biasa, bakat yang besar. Jika dia terus bekerja keras, dia terus seperti itu, dia akan meraih begitu banyak hal di masa depan. Bisakah kita lihat seberapa cerah masa depannya kemudian? Tidak. Hanya saja tetap, dia punya kemampuan dan bakat luar biasa. Dengan kerja keras dan selalu mengambil kesempatan yang muncul, dia bisa terus berkembang setahap demi setahap.”
Dan itulah yang kemudian terjadi. Sejak dahulu di Madeira, Ronaldo sudah luar biasa. Padahal pulau tersebut tak pernah memproduksi pemain untuk timnas Portugal – apalagi salah satu yang terbaik di dunia. Jadi sungguh sulit membayangkannya saat itu. Tidak berlangsung begitu lama memang, sebelum Ronaldo terus melangkah maju.
Waktu berjalan, Barros kemudian memperkenalkan Ronaldo dengan hakim lokal, Joao Marques de Freitas, seseorang yang memiliki hubungan kuat dengan orang-orang dalam di salah satu klub terbesar Portugal, Sporting CP.
“Kami bertemu dengan sang bocah, tapi saya tak pernah melihatnya bermain sepakbola,” ujar Joao pada Goal. “Apa yang terjadi? Bapak baptisnya kemudian berkata bahwa bocah ini hebat, sangat hebat. Saya bukan pelatih, jadi saya kemudian menghubungi Aurelio Pereira [pencari bakat Sporting], yang punya mata elang dalam melihat bakat muda untuk kemudian memiliki karier yang hebat. Saya meneleponnya dan saya mengatakan bahwa kami memiliki seorang bocah yang disebut-sebut punya kemampuan hebat.
“Kemudian Aurelio berkata pada saya: ‘mari kita lihat apakah dia bisa membawanya ke Sporting’. Saya lantas berbicara dengan Dolores di hari yang sama dan dia bilang ‘ya’. Jadi saya yang bertanggung jawab atas segalanya. Saya langsung membeli tiket dari Funchal ke Lisbon [basis Sporting].
“Ronaldo berangkat pada hari Sabtu dan tiga hari kemudian, Aurelio berkata pada saya bahwa Ronaldo adalah bakat yang sangat bagus. Itu terjadi di stadion Sporting yang lama di mana dirinya membuat para mata pencari bakat profesional kagum dengan skill-nya.”
Sporting amat tertarik dengan Ronaldo yang saat itu masih berusia 12 tahun dan si bocah pun hijrah ke ibu kota Portugal di Lisbon. Semua sekarang ada di tangannya, walau begitu terdapat beberapa masalah di awal petualangannya.
“Sangat sulit buat Ronaldo untuk beradaptasi di Lisbon karena logat di sini sangat berbeda dengan di Madeira,” lanjut Joao. “Dia mendapat masalah di sekolah, teman-temannya menertawakannya, dan dia tak terima. Pada satu waktu, dia ingin pergi, tapi akhirnya dia bisa bertahan. Dia melalui waktu yang buruk.”
Pada satu waktu, Ronaldo pernah kembali ke Funchal – dikirim pulang oleh Sporting – karena dia tak senang dengan segala situasinya. Itu adalah momen di mana mimpinya sebagai pesepakbola besar nyaris berakhir.
“Di tahun kedua, Ronaldo pulang ke Madeira,” kisah Barros. “Sporting mengirimnya pulang karena mereka tak ingin ada pemain yang tak bahagia. Mereka tak ingin ada pemain yang memang tak ingin ada di sana. Jadi mereka mengirimnya pulang ke Madeira.
“Saat itu juga saya terpaksa turun tangan untuk memberitahunya bahwa dia harus kembali ke Lisbon dan bermain untuk Sporting, karena dia adalah masa depan keluarga. Dan itulah yang kemudian terjadi. Saya bisa melihatnya punya masa depan cerah di sepakbola dan saya sudah langsung yakin di sesi latihan pertama di Lisbon. Pelatih Osvaldo Silva, yang tak lagi bersama kita, mengatakan bahwa Ronaldo adalah berlian. Dia meyakinkan saya lebih tegas bahwa Ronaldo sudah berada di tempat yang tepat.
Ronaldo pun akhirnya kembali ke Lisbon dan tak pernah lagi menoleh ke belakang. Berusaha keras beradaptasi di dalam dan luar lapangan, di salah satu akademi sepakbola terbaik di Eropa.
“Ketika saya tiba, Ronaldo sudah mulai terbiasa dengan keadaan di Sporting,” ujar eks kiper Sporting, Christopher Almeida de Pilar, pada Goal. “Dia tiba ketika umurnya sekitar 11 tahun dan langsung memiliki banyak teman. Dia punya teman-teman yang baik. Saya ingat mereka selalu pergi bersama untuk makan siang di sebuah restoran di Lisbon, dekat dengan stadion Jose Alvalade. Mereka selalu berpergian bersama, nongkrong besama, dan tinggal bersama di mess Sporting yang tempatnya ada di bawah stadion. Mereka bagaikan keluarga. Saya pikir dia memang sempat kesulitan, tapi saat itu semuanya sudah hilang.”
Pilar bermain bersama Ronaldo di tim junior Sporting dan juga timnas Portugal – dia kemudian berkata bahwa hasrat kuat Ronaldo untuk terus berkembang membuatnya berbeda dari pemain lain.
“Saya selalu berpendapat bahwa kami memiliki beberapa pemain berkualitas di akademi Sporting,” ujar Pilar. “Namun Ronaldo itu beda, karena segala kerja keras yang dia lakukan – biasa saja ketika latihan, tapi dia berlatih dengan begitu keras lepas jam latihan. Dia selalu bertahan seusai latihan untuk melakukan latihan ekstra selama satu setengah jam di bagian yang menurutnya masih menyulitkannya.
“Ketika saya tiba saat usia 13 tahun di Sporting, Ronaldo sudah punya otoritas tersendiri bahwa dirinya memang lebih hebat dibanding rekan setim lainnya. Caranya berlatih, caranya memotivasi tim, caranya membantu mereka, keinginan besarnya untuk menang, hasratnya untuk selalu mengesankan, sungguh superior dibanding pemain lainnya.
“Kebanyak pemain termasuk saya, hanya ingin bermain sepakbola secara profesional dan membanggakan orang tua kami. Tapi Ronaldo – dengan mimpi besarnya, tak hanya membuat bangga keluarganya, tapi setiap orang yang menyaksikannya.”
Setelah menjalani musim tunggal di tim utama Sporting, Ronaldo kembali melangkah maju. Kali ini dirinya bergabung dengan Manchester United, lantaran performa hebatnya dalam duel pramusim hadapi tim asuhan Sir Alex Ferguson di Lisbon.
De Freitas hadir menyaksikan laga itu secara langsung dan berkata: “Pada malam inagurasi stadion baru Alvalade, Ronaldo bermain untuk Sporting melawan United. Dan di babak pertama, dia menampilkan pertunjukan sepakbola.
“Sporting memenangi partai itu lewat skor 3-1. Ronaldo memang tak mencetak gol, tapi dia membuat semua orang terkesan. Sampai-sampai mereka menyerukan namanya: ‘Cristiano’. Dan tiga hari berselang, dia dikontrak United.”
Dari awal sederhana perjalanannya, Ronaldo sudah sukses membela salah satu klub terlite di dunia pada usia 18 tahun. Mantan rekannya, Santos, kemudian berkata: “Momen ketika dirinya bergabung ke United, semua orang mulai melihat nilai sejatinya. Sejak saat itu, saya pikir Ronaldo telah mengejutkan semua orang.”
Mantan pelatihnya, Talinhas menambahkan: “Membayangkan bahwa suatu hari Ronaldo akan jadi pemain terbaik di dunia, bahkan dua sampai tiga kali, kami sungguh tak bisa mempercayainya. Dia memang sudah menunjukkan potensinya sedari dahulu, tapi tentu saja kami tetap terkejut.”
Barros masih terus memperhatikan anak baptisnya sepanjang waktu dan berkata: “Dari waktu ke waktu saya pergi ke Madrid untuk melihat laga Real Madrid. Bagi saya, ini sungguh kepuasan yang luar biasa. Ini memberikan saya rasa kemenangan. Tentu saja, ketika Ronaldo bermain, saya suka menontonnya, saya suka melihatnya mencetak gol, saya ikut bahagia ketika dia memenangi gelar juara, entah itu gelar individual atau kolektif – itu memberikan saya kebanggaan luar biasa.”
De Freitas juga masih memperhatikan Ronaldo. Terakhir ketika Juli lalu Ronaldo pulang ke Funchal dan dirinya berkata: “Saya sangat menyukai Ronaldo. Dia adalah sosok pria luar biasa dan sangat peduli dengan keluarga. Dia tak pernah melupakan keluarganya. Dan lebih dari itu, dia begitu banyak membantu orang-orang di sini.”
Talinhas tak lupa menambahkan: “Saya pikir kita harus berterima kasih pada Ronaldo karena dia adalah figur dunia, tapi juga selalu punya rasa kasih sayang yang khusus untuk tanah kelahirannya. Tempat di mana dia lahir. Kami sangat bangga padanya.”
Ronaldo, tentu saja, sekarang sudah membuka museum dan hotel di Madeira, tapi di puncak pegunungan Andorinha, gambar Ronaldo muda masih terus terpampang menghiasi stadion. Hal itu dilakukan sebagai pengingat bahwa dahulu pernah ada pesepakbola dari kepulauan Atlantik, yang memulai segalanya dari segala sesuatu yang sederhana untuk jadi pemain terbaik sepanjang masa.
“Semua anak kecil yang bermain di sini, memiliki mimpi untuk menjadi Ronaldo,” ujar sang perawat rumput, Rui. “Mereka semua ingin sepertinya. Semuanya!”
“Namun takkan pernah ada Ronaldo lainnya di Madeira. Hanya ada satu dan takkan ada yang lain.”`